spot_img

Di Bawah Naungan Sebuah Ayat…

Betapa nikmatnya hidup bersama Kalam al-Rahman. Betapa manisnya hidup itu. Betapa indahnya di bawah naungannya. Dan betapa lezatnya semua itu ketika dilakukan di bulan Ramadhan:

نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ

“Cahaya di atas cahaya, Allah memberikan petunjuk kepada cahayaNya kepada siapa yang Ia kehendaki.” (al-Nur: 35)

Marilah kita hidup di bawah naungan ayat agung ini yang menyebutkan penetapan Syariat rukun puasa Ramadhan ketika Allah Ta’ala mengatakan:

(184) يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Dalam beberapa hari yang (dapat) dihitung.” (al-Baqarah: 183-184)

Lihatlah –wahai saudara tercinta- bagaimana Allah Ta’ala yang Mahamulia dan Mahabesar membuka ayat agung ini dan ketetapan hukum yang agung ini dengan panggilan mesra itu, panggilan yang membuat seorang muslim merasakan –saat membacanya- kelembutan, kemesraan dan kerahmatan: “Wahai orang-orang yang beriman”. Betapa lembutnya panggilan itu! Betapa lembutnya pengantar itu!

Allah memanggil dan menggugah mereka dengan sifat yang agung ini, yaitu: keimanan padaNya Ta’ala. Karena mereka adalah orang-orang yang membenarkan dan menetapkan, yang mendengarkan dan menaati. Di sini kita mengingat kisah pria yang menemui ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, lalu berkata: “Berilah aku sebuah wasiat.” Maka ia berpesan padanya: “Jika engkau mendengar Allah Azza wa Jalla mengatakan di dalam KitabNya: ‘Wahai orang-orang beriman’, maka curahkanlah pendengaranmu; karena itu adalah kebaikan yang diperintahkan padamu atau keburukan yang dipalingkan darimu.” (Lih: al-Tafsir min Sunan Sa’id bin Manshur 1/10. Lih: Tafsir Ibn Katsir, Dar al-Fikr 2/310)

“telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”, maksudnya: telah diwajibkan atas kalian berpuasa yang merupakan amal yang dispesialkan Allah untuk DiriNya, bahwa Dialah yang akan memberikan balasan untuknya: “Kecuali puasa, ia milikKu dan Akulah yang akan memberinya balasan.” (HR. Muslim no. 2760)

“Sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”; dahulu orang-orang Arab mengenal puasa. Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

“Adalah puasa Asyura itu adalah puasa dimana Quraisy berpuasa di masa Jahiliyah.” Dalam beberapa riwayat, ia mengatakan: “…dan Rasulullah berpuasa di hari itu.” (HR. Al-Bukhari no. 2002, dan Muslim no. 1125)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

“Ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada Hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya: ‘Apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Musa, maka kami pun berpuasa.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa.” (HR. Ibnu Majah no. 1734 dan yang lainnya, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah)

Makna pertanyaan beliau adalah menanyakan tujuan kaum Yahudi dari puasa mereka, bukan menanyakan dasar puasa itu. Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Maka ketika di bulan Ramadhan turun kewajiban (puasa) Ramadhan, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang mau (silahkan) berpuasa hari ‘Asyura, dan siapa yang mau (silahkan) berbuka.’” (HR. Muslim no. 2696).

Maka puasa ‘Asyura diwajibkan melalui al-Sunnah, lalu dinasakh oleh al-Qur’an. Sehingga yang diperintahkan adalah puasa yang dikenal (saat ini) dengan tambahan kaifiyat yang diakui secara syara’ dan aturan-aturannya terkait kondisi dan waktu. (Lih: al-Tahrir wa al-Tanwir 2/208-209)

Sehingga terjadilah dalam puasa Islam apa yang berbeda dengan puasa kaum Yahudi dan Nasrani dalam hal batasan-batasan substansi dan kaifiyat puasa, dan puasa kita tidak sama dengan puasa mereka sama sekali. Sehingga firmanNya: “Sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian” adalah penyerupaan pada dasar kewajiban substansi puasa, bukan kaifiyatnya. Penyerupaan ini memiliki 3 tujuan utama:

Pertama, memberikan perhatian terhadap ibadah ini, mengingatkan tentangnya karena Allah telah mensyariatkannya sebelum Islam kepada generasi sebelum kaum muslimin lalu disyariatkan kepada kaum muslimin, dan  membangkitkan obsesi kaum muslimin untuk menerima ibadah ini agar (dalam hal kebaikan) mereka tidak berbeda dengan orang sebelum mereka.

Kedua, penyerupaan dengan generasi terdahulu bertujuan meringankan para mukallaf untuk menjalankan ibadah ini, agar mereka tidak merasa berat melakukan puasa; karena bercermin pada orang lain menjadi hiburan dalam musibah. Ini adalah manfaat bagi orang yang menganggap ibadah ini berat. Keringanan ini dikuatkan dengan makna yang terkandung dalam ayat berikutnya: “Dalam beberapa hari yang (dapat) dihitung…”

Ketiga, merangsang tekad untuk menjalankan kewajiban ini agar mereka tidak lalai dalam menerimanya, namun mengambilnya dengan penuh kekuatan melebihi yang dilakukan umat-umat sebelumnya.

Firman Allah Ta’ala: “Agar kalian bertaqwa”, karena puasa itu mengandung penyucian jiwa dan mempersempit jalan-alan Syetan. Karena itu, disebutkan di dalam al-Shahihain:

“Wahai sekalian pemuda! Siapa di antara kalian yang mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Namun siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena itu menjadi benteng untuknya.” (HR. Al-Bukhari no. 5065, dan Muslim no. 34)

Maka “puasa akan menghancurkan syahwat perut dan kemaluan, karena manusia biasanya (paling) berhasrat untuk 2 hal itu. Sehingga siapa yang memperbanyak puasa, niscaya kedua dorongan tersebut akan menjadi ringan untuknya. Bebannya menjadi berkurang, sehingga itu dapat menjadi perisai baginya agar tidak melakukan hal-hal yang diharamkan. Juga akan membuat urusan dunia menjadi remeh di matanya. Dan itu semua adalah senarai jalan ketakwaan. Sehingga makna ayat itu menjadi: “Telah diwajibkan puasa untuk kalian agar kalian menadi orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang telah Aku puji dalam Kitab-Ku dan yang telah Aku sampaikan bahwa Kitab ini sebagai petunjuk untuk mereka.” (Lih: Tafsir al-Razy 5/60)

Ya Allah, bukakanlah makna-makna KitabMu yang mulia seperti telah Engkau bukakan untuk mereka yang mengetahuinya, dan berikan manfaat untuk kami melalui ayat-ayat dan peringatannya yang penuh hikmah.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Sumber: https://ramadaniat.ws/zikr/347

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.