spot_img

Direktur Markaz Imam Malik Mengajak Masyarakat Shalat Gerhana

8 Maret 2016

Setelah memimpin shalat Maghrib di Masjid Nurul Hikma Jl. RSI Faisal 14 No. 14. Direktur Markaz Imam Malik Ustadz H. Harman Tajang, Lc., M.H.I. mengajak masyarakat untuk bersama-sama menunaikan ibadah shalat Gerhana Matahari esok Rabu 9 Maret 2016 di Masjid Nurul Hikma.

Shalat Gerhana Matahari ini diselenggarakan oleh Yayasan Markaz Imam Malik bekerjasama dengan Pengurus Masjid Nurul Hikma. Dalam penyampaiannya, ia mengutip beberapa hadits yang datangnya dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam tentang hukum melaksanakan shalat gerhana.

Ada 2 pendapat di kalangan ulama tentang hukum shalat gerhana:

  1. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hukumnya sunnah mu’akkadah. Landasan pendapat ini adalah:
    • Kisah seseorang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya tentang apa kewajibannya dalam Islam, maka Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam menyebutkan shalat 5 waktu. Orang tersebut lalu bertanya, apakah ada kewajiban shalat selainnya? Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak ada, kecuali jika engkau mau shalat sunnah.” (HR. Al-Bukhari no. 2481 dan Muslim no. 11)
    • Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ’anhu ketika diutus berdakwah ke negeri Yaman, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallamberpesan kepadanya, ”Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu.” (HR. al-Bukharino. 1395 dan Muslim no. 19)
  2. Sebagian ulama lainnya berpendapat hukumnya wajib. Landasan pendapat ini adalah teks perintah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hadits tentang gerhana yang bersifat perintah, ”… apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah…

Selain menjelaskan hukumnya ia juga menjelaskan tata cara shalat gerhana yang dimulai dengan tidak adanya adzan atau iqomah dalam pelaksanaan shalat gerhana tersebut.

Disyariatkan Berjamaah di Masjid, Boleh Pula Sendiri-sendiri

            ”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam keluar menuju masjid, beliau berdiri dan bertakbir (yakni shalat gerhana, pen) dan para makmum bershaf di belakang beliau…” (HR. Muslim no. 901)

Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa disunnahkan melaksanakan shalat gerhana di masjid yang dipakai juga untuk shalat jum’at…hadits ini juga menunjukkan disunnahkan melaksanakannya secara berjamaah, boleh pula dikerjakan dengan sendiri-sendiri.” (Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901).

Tidak Ada Adzan dan Iqomah, Namun Diserukan ”Ash-Shalatu Jami’ah”

            Berdasarkan hadits dari sahabat ’Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu ’anhuma, ”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul diserukan, ”Inna ash-Shalata Jami’ah.” (HR. Al-Bukhari no. 1045) dalam lafadz lain ’Ash-Shalatu Jami’ah” (HR. Muslim no.901).
Al-Imam an_Nawawi Rahimahullah berkata, ”Disenangi untuk diserukan ’ash-shalatu Jami’ah’ pada saat gerhana, dan para ulama sepakat tidak ada adzan dan iqomah padanya.(Lihat Syarh Shahih Muslim hadits no. 901).

Makna “Ash-Shalatu Jami’ah” adalah, “Sesungguhnya shalat mengajak kalian berkumpul (maka hadirilah).” Seruan tersebut bisa diulang beberapa kali sesuai kebutuhan, terutama pada shalat gerhana bulan yang dilaksanakan pada malam hari

Tata Cara Shalat Gerhana
Sebagaimana diketahui melalui keterangan hadits-hadits yang shahih, gerhana pada masa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam hidup terjadi hanya sekali, yaitu gerhana matahari total yang terjadi pada tahun ke-10 hijriah. Keterangan tentang cara shalat gerhana tersebut diriwayatkan dalam beberapa hadits dari beberapa sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Diantaranya, hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana, beliau melaksanakan shalat 4 kali ruku dalam 2 rakaat, dan 4 kali sujud.” (HR.Muslim no. 901)

Keterangan dari beberapa hadits tentang tata cara shalat gerhana Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bisa disimpulkan sebagai berikut:

  1. Takbiratul ihram.
  2. Membaca doa istiftah, ta’awwudz, dan membaca basmalah secara sir (pelan).
  3. Membaca surah Al-Fatihah dan surah secara jahr (keras). Bacaan pada berdiri pertama rakaat pertama ini dipanjangkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma diterangkan “…kurang lebih sepanjang surah Al-Baqarah…” (HR. Al-Bukhari no. 1052, Muslim no. 907).
  4. Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku. Membaca doa ruku dengan diulang-ulang.
  5. Kemudian berdiri dari ruku sambil mengucapkan, ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd.”
  6. Setelah itu tidak sujud, namun terus berdiri panjang, dan kembali membaca Al-Fatihah dan surah. Namun berdiri kedua pada rakaat pertama ini agak lebih pendek dibandingkan berdiri pertama.
  7. Bertakbir kemudian ruku dengan memanjangkan ruku. Membaca doa ruku dengan diulang-ulang. Ruku kedua ini agak lebih pendek dibandingkan ruku pertama.
  8. Kemudian berdiri dan ruku sambil mengucapkan ”Sami’allahu liman hamidah,” ketika badan sudah tegak sempurna mengucapkan, ”Rabbana walakal hamd,” ini adalah i’tidal, dan dipanjangkan juga. Berdasarkan hadits dari sahabat Jabir Radhiyallahu ’anhu, ”…maka Nabi memanjangkan berdiri sampai-sampai (sebagian makmum) tersungkur, lalu beliau ruku dan memanjangkannya, lalu bangkit berdiri dan memanjangkannya, lalu ruku dan memanjangkannya, kemudian bangkit berdiri dan memanjangkannya, kemudian beliau sujud dua kali…(HR. Muslim no. 904).
  1. Bertakbir kemudian sujud dengan sujud yang panjang juga. Berdasarkan hadits, ”…kemudian beliau sujud dengan sujud yang panjang.” (HR. al-Bukhari no. 1047).
  2. Kemudian bertakbir dan bangkit, lalu duduk iftirasy dan memanjangkan duduknya. (HR. an-Nasa’i no. 1482).
  3. Lalu bertakbir dan kembali sujud dengan sujud yang panjang, namun tidak sepanjang sebelumnya. (HR. al-Bukhari no. 1056).
  4. Bertakbir dan berdiri untuk rakaat kedua. Demikian berikutnya sama persis dengan rakaat pertama, hanya saja masing-masing lebih pendek dari pada sebelumnya. Pada berdiri pertama rakaat kedua kembali membaca Al-Fatihah dan surah dengan jahr dan dipanjangkan pula kurang lebih sepanjang surat ali ’Imran. (HR. Abu Dawud no. 1187).
  5. Kemudian duduk bertasyahud, membaca shalawat, dan salam ke kanan dan ke kiri.

Apabila Masbuq
Dalam shalat gerhana, makmum dinyatakan kurang rakaat shalatnya apabila dia tidak mendapati ruku pertama pada rakaat pertama. Maka, setelah imam mengucapkan salam, makmum tersebut harus menambah satu rakaat dengan dua kali ruku.

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.