spot_img

Kisah Syams Al-Barudi

Dikutip dari bukunya Rihlaty min al-Zhulumat ila al-Nur (Perjalananku dari Kegelapan Menuju Cahaya), Syams al-Barudi, seorang mantan artis yang sangat terkenal menceritakan tentang bagaimana hidayah Allah datang dalam kehidupannya:

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah…

Segalanya bermula dari awal pertumbuhanku…Ya, masa pertumbuhan itu mempunyai peranan yang sangat penting.

Ayahku adalah seorang yang taat beragama. Meskipun hanya sebuah keberagamaan yang biasa dan sederhana. Begitu juga dengan ibuku. Aku sendiri biasa mengerjakan shalat, meskipun tidak teratur…Seringkali beberapa shalat wajib terluput dariku, dan aku tidak terlalu merasa bersalah jika ketinggalana satu shalat fardhu…Sayang sekali, pelajaran agama di sekolah juga tidak menjadi pelajaran dasar. Karenanya, tidak ada seorang siswa pun yang gagal di dalamnya. Pelajaran agama tidak menjadi pelajaran pokok seperti ilmu-ilmu keduniaan lainnya…

Ketika aku berhasil mendapatkan ijazah SMA umum, keinginan terbesarku adalah jika tidak melanjutkan ke Fakultas Hukum atau ke Fakultas Seni. Namun total nilaiku tidak memenuhi syarat untuk itu…Akhirnya aku pun masuk ke Institut Seni Pertunjukan. Aku sendiri akhirnya tidak menyelesaikan kuliah di situ karena menjalani profesi di dunia film…

Sekarang ini aku merasa bahwa aku terdorong masuk ke sana begitu saja…Karena tidak pernah sekalipun dalam hidupku itu menjadi impian atau obsesi hidupku. Namun gemerlap dunia selebriti, perfilman dan televisi benar-benar menyilaukan banyak gadis di usia sepertiku –umurku waktu itu sekitar 16-17 tahun-. Apalagi dengan dasar ilmu agama yang sangat kurang. Dan ketika aku menjalani profesi dunia film, dari diriku aku selalu merasa ada semacam penolakan terhadap profesi itu. Sampai-sampai pernah selama 2 atau 3 tahun aku tidak melakukan pekerjaan apapun…

Sampai-sampai sebagian orang mengatakan bahwa aku telah meninggalkan dunia film…Alhamdulillah, keluargaku adalah keluarga yang berkecukupan dari sisi materi. Aku tidak pernah bekerja karena alasan materi sama sekali…Karena itu, apa yang aku dapat biasanya aku gunakan untuk membeli pakaian dan perlengkapan make up-ku atau yang lainnya…

Kondisi itu terus berlanjut hingga aku merasa bahwa jiwaku tidak dalam pekerjaan ini…Aku merasa bahwa kecantikanku itulah yang menyebabkan aku dimanfaatkan untuk pekerjaan ini…Pada saat itulah, aku mulai menolak peran-peran yang ditawarkan kepadaku, yang selama ini hanya selalu mengeksploitasi kecantikan yang dikaruniakan Allah kepadaku…

Pada saat itulah, aku sangat kekurangan pekerjaan, bahkan pekerjaanku di dunia film cenderung tidak ada lagi…

Aku merasa bahwa ada sebuah jurang pemisah antara kepribadianku yang sesungguhnya dengan realitas yang kujalani…Aku duduk memikirkan kerja-kerja filmku yang telah disaksikan oleh orang banyak…Aku tidak pernah merasa bahwa semua itu untuk mengungkapkan tentang aku. Semuanya hanya dibuat-buat, hingga aku merasa seakan-akan aku dikeluarkan dari tubuhku.

Akhirnya, bersama suamiku, Hasan Yusuf, aku mulai memerankan peran-peran yang kupikir lebih sesuai dengan diriku. Hal itu menyebabkan terjadinya sebuah proses transisi bagiku untuk menjadi sosok yang lain. Pada saat itulah, aku mulai konsisten mengerjakan shalat, di mana ketika aku meninggalkan satu kewajiban, maka aku akan beristigfar memohon ampun sebanyak-banyaknya kepada Allah –setelah menggantinya-…Hal itu sungguh membuatku sangat sedih…Semua itu aku kerjakan dan aku sama sekali belum konsisten dengan penampilan yang Islami.

Sebelum menikah, aku biasa membeli pakaianku dari rumah mode yang terbaru di Mesir. Dan setelah menikah, suamiku biasa menemaniku bepergian ke luar negeri untuk membeli pakaian musim panas dan musim dingin!! Aku mengenang semua ini dengan perasaan sedih, karena semua perbuatan rendah ini telah menyibukkanku…

Lalu aku mulai membeli baju-baju yang lebih tertutup. Jika aku suka dengan sebuah pakaian berlengan pendek, maka aku akan membeli jaket sebagai pasangannya untuk menutupi bagian yang tampak dari tubuh…Dan ini semua adalah dorongan yang berasal dari dalam diriku.

Aku mulai merasakan sebuah keinginan kuat untuk mengenakan hijab. Namun orang-orang yang ada di sekitarku selalu mengatakan kepadaku: “Engkau sekarang ini jauh lebih baik!!!”

Aku akhirnya mulai banyak membaca Mushaf…sampai-sampai pada masa itu, aku mengkhatamkan al-Qur’an dalam satu kali baca. Aku biasa mengkhatamkannya bersama dengan sekelompok kawan-kawanku…

Salah satu karunia Allah kepadaku adalah bahwa aku sama sekali tidak mempunyai pertemanan dalam lingkungan pelaku seni. Pertemananku hanyalah dengan kawan-kawanku di masa kecil. Aku biasa berkumpul dengan kawan-kawanku –bahkan hingga setelah aku menikah- di bulan Ramadhan, dalam salah satu rumah salah seorang dari kami. Lalu kami membaca al-Qur’an hingga mengkhatamkannya. Namun sayang sekali, tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenakan pakaian syar’i.

Pada masa itu, aku selalu bekerja dengan suamiku; kami bermain bersama dalam satu film, atau ia menyiapkan peran-peran untuk aku mainkan…Aku menceritakan ini bukan karena hal itu aku anggap bagus, tapi aku hanya ingin menyampaikan kondisiku di suatu masa yang setiap kali aku ingat, aku berharap itu dapat segera terhapus dari catatan kehidupanku.

Andai aku bisa kembali ke belakang, maka aku berangan andai selamanya aku tak pernah berada dalam dunia semacam itu!! Aku berangan andai sejak awal aku menjadi seorang muslimah yang taat, karena itulah yang haq. Allah Ta’ala mengatakan:

“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.”

Bacaan-bacaanku pada waktu itu lebih banyak pada karya-karya Sartire, Freud, dan ahli-ahli filsafat lainnya, yang sama sekali tidak berguna. Aku hanya larut dalam perdebatan yang tak jelas. Aku sendiri punya sebuah perpustakaan yang besar, tapi aku kemudian jadi malas membacanya tanpa sebab.

Aku punya keinginan yang sangat kuat untuk menunaikan umrah. Namun aku mengatakan pada diriku, bahwa aku tidak bisa pergi menunaikan umrah kecuali jika aku mengenakan hijab. Karena tentu sangat tidak masuk akal jika aku pergi ke Baitullah, lalu aku tidak berkomitmen mengenakan pakaian muslimah…tapi ada yang mengatakan kepadaku:

“Tidak…Itu bukan persyaratan…”

Tentu saja itu karena mereka tidak mengetahui ajaran Islam, sebab mereka sendiri tidak berubah setelah pulang menunaikan umrah.

Suamiku akhirnya berangkat menunaikan umrah, namun aku tidak ikut pergi bersamanya karena khawatir jika putriku akan terlambat studinya selama aku tidak ada…

Namun tiba-tiba ia terkena sebuah penyakit menular, yang kemudian berpindah kepada putraku, kemudian akhirnya mengenaiku. Akibatnya kami bertiga menjadi sakit. Kejadian ini membuatku berpikir kembali, mungkin saja penyebabnya karena aku menunda pelaksanaan umrahku.

Maka di tahun berikutnya, aku pun berangkat menunaikan umrah. Itu tepatnya pada tahun 1982 bulan Februari. Sebelumnya aku baru saja kembali dari Paris di bulan Desember. Aku pulang membawa pakaian model terbaru dari rumah-rumah mode di sana…semuanya adalah pakaian tertutup…tapi model terbaru…

Ketika aku berangkat dan membeli pakaian umrah yang putih, itulah pertama kalinya aku mengenakan pakaian putih tanpa menggunakan make up apapun di wajahku. Dan aku temukan diriku jauh lebih cantik…

Untuk pertama kalianya, aku bepergian tanpa merasa gelisah atas anak-anakku disebabkan jauhnya aku dari mereka. Padahal sebelumnya dalam berbagai perjalananku, aku selalu khawatir dengan mereka…karenanya, aku biasa membawa mereka ikut. 

Ketika aku tiba di Mesjid Nabawi, aku mulai membaca Mushaf meski tidak memahami ayat-ayatnya dengan sempurna. Tapi aku memiliki keinginan yang kuat untuk mengkhatamkan al-Qur’an di Madinah dan Mekkah…Sebagian kawan yang bersamaku bertanya:

“Apakah engkau akan mengenakan hijab?” Aku menjawab: “Tidak tahu…”

Aku terkadang menggantungkan hal ini kepada suamiku…apakah ia setuju atau tidak…Dan aku ketika itu sama sekali tidak tahu bahwa tidak ada ketaatan bagi makhluk jika itu mendurhakai sang khaliq…

Di Mesjidil Haram, aku menemukan beberapa akhawat yang mengenakan cadar. Aku sendiri lebih senang tinggal di Haram untuk membaca al-Qur’an al-Karim. Suatu ketika, ketika aku berada di Haram antara Ashar dan Magrib, aku berjumpa dengan seorang akhwat dari Mesir yang telah lama hidup di Kuwait. Namanya Arwa. Ia membacakan beberapa bait syair yang ia tulis hingga aku menangis…Pemikiran untuk berhijab semakin sering mengusikku…

Tapi orang-orang di sekitarku mengatakan:

“Tunggulah hingga engkau menanyakannya kepada suamimu..Jangan tergesa-gesa…engkau masih muda, dan seterusnya…”

Namun keinginanku untuk berhijab sudah kokoh. Ukhti Arwa melantunkan puisinya:

Biarkan mereka berkata tentang hijabku

Tidak, demi Tuhanku, aku takkan peduli

Hijab itu telah melindungiku dalam agamaku

Dan mendekatkanku pada Sang Mahamulia

Hiasanku selamanya adalah rasa maluku

Pakaian tertutupku adalah kekayaanku

Itu adalah puisi panjang yang membuatku menangis setiap kali aku mengingatnya…Aku merasa seakan ia berbicara dengan kondisiku saat itu…Ia menyentuh lubuk hatiku yang terdalam…

Setelah itu, aku kemudian pergi menunaikan umrah bersama saudari seayahku –dan kini ia telah meninggal dunia, aku sangat mencintainya-…Sepulang menunaikan umrah, malam itu aku tidak bisa tidur. Aku merasakan dadaku sempit seakan sebongkah gunung menghalangi nafasku…Seakan kesalahan-kesalahanku semuanya mencekikku…Semua gemerlap dunia yang dahulu aku nikmati seakan menjadi dosa-dosa yang menghantamku…Ayahku bertanya ada apa denganku, lalu mengatakan:

“Aku harus pergi ke Haram sekarang…”

Waktu itu bukanlah waktu biasa di mana kami pergi ke Haram. Namun ayahku –seakan ia telah menyiapkan dirinya untuk mengawalku dalam perjalanan umrah itu- segera menemaniku ke Haram. Ketika kami sampai, kami pun menunaikan penghormatan pada mesjid dengan melakukan thawaf.

Pada putaran pertama, Allah memudahkan aku untuk mencapai Hajar Aswad. Saat itu, tidak ada doa yang terlintas di bibirku selain mendoakan untuk kebaikanku, suamiku, anak-anakku, keluargaku dan semua orang yang kukenal…

Aku mendoakan kekuatan iman untuk mereka…

Air mataku mengalir deras dalam diamku, dan tidak mau berhenti…

Sepanjang 7 putaran, aku tidak memanjatkan doa selain doa agar diberi kekuatan iman. Dan sepanjang 7 putaran itu, aku selalu sampai ke Hajar Aswad dan menciumnya. Di Maqam Ibrahim ‘alaihissalam, aku berdiri mengerjakan shala 2 rakaat setelah thawaf. Aku membaca al-Fatihah, seakan-akan aku belum pernah membacanya sepanjang hayatku.

Saat itu aku merasakan makna-makna yang membuatku menyadari betapa besarnya karunia Allah…Aku merasakan keagungan surah pembuka al-Qur’an itu…Aku menangis dan jiwaku berguncang…Di sepanjang thawaf, aku merasakan seakan begitu banyak malaikat di sekitar Ka’bah yang memandangku…

Aku merasakan keagungan Allah seakan aku tidak pernah merasakannya sepanjang hayatku. Lalu aku mengerjakan shalat 2 rakaat di Hijr Ismail. Lalu terjadilah kembali apa yang kualami sebelumnya, dan waktu itu menjelang waktu subuh…

Ayahku datang membawaku ke tempat khusus wanita untuk menunaikan shalat Subuh…Saat itulah aku merasa telah berubah dan menjadi seorang manusia baru kembali. Sebagian perempuan di situ bertanya:

 “Apakah engkau akan mengenakan hijab, wahai Syams?”

Aku menjawab: “Dengan izin Allah…”

Bahkan getaran suaraku telah berubah…benar-benar berubah…

Inilah semua yang terjadi pada diriku…Dan aku kembali setelah itu ke negeriku tanpa pernah lagi melepaskan hijabku…Aku sekarang memasuki tahun keenam sejak aku mengenakannya. Aku berdoa kepada Allah agar mengaruniakan husnul khatimah kepadaku dan kepada kita semua…


Alih Bahasa:
Muhammad Ihsan Zainuddin
Pembina https://kuliahislamonline.com
Sumber: Qashash Mu’atstsirah Jiddan Lil Fatayat

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.