mim.or.id – Faedah dari Kisah Nabi Hud’Alaihissalam
(Diterjemahkan dan disadur dari kitab Qashash al-quran lil ‘allamah as-sa’dy disusun oleh fayiz bin sayyaf bin as-suraih)
Oleh: Sayyid Syadly
Faedah dari Kisah Nabi Hud’alaihissalam
Di antaranya:
Pertama: Apa yang telah disebutkan dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam mengenai faedah yang sama di antara para rasul.
Kedua: Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya menceritakan kepada kita kabar umat-umat yang berada di sekitar kita di Jazirah Arab dan sekitarnya; karena Al-Qur’an menggunakan cara yang paling tinggi dalam mengingatkan, dan Allah Ta’ala telah memberikan berbagai pengingat yang bermanfaat.
Tidak diragukan lagi bahwa negeri-negeri yang jauh dari kita, di timur dan barat bumi, Allah Ta’ala telah mengutus kepada mereka para rasul, dan mereka mengalami hal serupa dengan yang disebutkan, baik berupa jawaban, penolakan, penghormatan, maupun hukuman.
Setiap umat telah diutuskan seorang rasul, namun Allah Ta’ala memberikan faedah bagi kita dengan mengingatkan kita akan kisah umat-umat di sekitar kita, yang kisahnya kita wariskan dari generasi ke generasi, bahkan kita melihat peninggalan mereka, melewati tempat tinggal mereka setiap waktu, serta memahami bahasa dan sifat mereka yang lebih dekat dengan sifat kita.
Tidak diragukan lagi faedah ini besar, dan lebih baik daripada mengingatkan kita akan umat-umat yang belum pernah kita dengar namanya, tidak ada berita tentang mereka, tidak mengenal bahasa mereka, serta tidak terhubung berita mereka dengan apa yang dikabarkan Allah Ta’ala kepada kita.
Dari sini diambil pelajaran bahwa mengingatkan manusia dengan sesuatu yang lebih dekat dengan akal mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka, dan lebih bermanfaat bagi mereka dibandingkan yang lain lebih utama, meskipun benar adanya.
Tetapi, kebenaran memiliki tingkatannya, dan pemberi peringatan serta pengajar jika mengikuti cara ini, serta berusaha menyampaikan ilmu dan berita kepada manusia dengan cara-cara yang mereka pahami dan tidak menjauhkan diri mereka, atau yang lebih mendekatkan untuk menegakkan hujjah (alasan) atas mereka, maka ini bermanfaat dan menjadi keuntungan bagi mereka. Allah Ta’ala merujuk pada hal ini di akhir kisah tentang kaum ‘Ad, ketika berfirman:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُم مِّنَ ٱلْقُرَىٰ وَصَرَّفْنَا ٱلْءَايَٰتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan sungguh, telah Kami binasakan negeri-negeri di sekitarmu, dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda (kebesaran Kami) dengan berbagai cara agar mereka kembali (bertaubat).” [QS. Al-Ahqaf: 27] Yakni, Kami telah memvariasikannya dengan berbagai jenis, agar mereka lebih mudah mengambil manfaat.
Ketiga: Mendirikan bangunan megah untuk berbangga, bermegah-megahan, perhiasan, dan menindas manusia dengan kekuasaan adalah perbuatan tercela yang diwarisi dari bangsa-bangsa yang sombong, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan dalam kisah Hud dan kaum ‘Ad ketika Hud menegur mereka,
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ ءَايَةً تَعْبَثُونَ * وَتَتَّخِذُونَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُونَ
“Apakah kamu mendirikan di setiap tempat yang tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kamu membuat bangunan-bangunan yang kokoh dengan harapan kamu akan hidup kekal.” [QS. Asy-Syu’ara: 128-129].
Secara umum, pembangunan istana, benteng, rumah, dan bangunan lainnya bisa dikategorikan sebagai berikut:
- Jika bangunan itu dijadikan tempat tinggal karena adanya kebutuhan, di mana kebutuhan itu bervariasi dan berbeda, maka ini adalah hal yang dibolehkan, bahkan dengan niat yang baik, bisa menjadi jalan untuk meraih kebaikan.
- Jika bangunan itu berupa benteng untuk melindungi dari kejahatan musuh, atau pos pertahanan yang menjaga negeri dan sejenisnya yang bermanfaat bagi kaum Muslimin serta melindungi mereka dari bahaya, maka ini termasuk dalam jihad di jalan Allah dan masuk dalam perintah untuk mengambil sikap waspada terhadap musuh.
- Jika bangunan itu untuk berbangga diri, pamer, atau menindas hamba Allah serta membuang-buang harta yang seharusnya digunakan untuk tujuan yang lebih bermanfaat, maka ini adalah tindakan tercela yang dikritik oleh Allah terhadap kaum ‘Ad dan lainnya.
Keempat: Kecerdasan, pikiran, dan kepintaran, serta kekuatan fisik dan hasil yang diperoleh dari itu semua, meskipun luar biasa dan mencapai tingkat yang tinggi, tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali jika disertai dengan iman kepada Allah dan para rasul-Nya.
Adapun orang yang menolak ayat-ayat Allah dan mendustakan rasul-rasul-Nya, meskipun diberi kelonggaran dalam hidupnya, maka akhirnya adalah kebinasaan. Pendengaran, penglihatan, dan akalnya tidak akan bermanfaat baginya ketika ketentuan Allah tiba, sebagaimana Allah berfirman tentang kaum ‘Ad,
وَلَقَدْ مَكَّنَّٰهُمْ فِيمَآ إِن مَّكَّنَّٰكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَٰرًا وَأَفْـِٔدَةً فَمَآ أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ أَبْصَٰرُهُمْ وَلَآ أَفْـِٔدَتُهُم مِّن شَىْءٍ إِذْ كَانُوا۟ يَجْحَدُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ
“Dan sungguh, Kami telah teguhkan kedudukan mereka pada hal-hal yang tidak Kami teguhkan untuk kamu, dan Kami jadikan untuk mereka pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka tidak berguna sedikit pun bagi mereka, ketika mereka mengingkari ayat-ayat Allah; dan mereka diliputi oleh azab yang dahulu mereka perolok-olokkan.” [QS. Al-Ahqaf: 26].
Dan pada ayat yang lain,
فَمَآ أَغْنَتْ عَنْهُمْ ءَالِهَتُهُمُ ٱلَّتِى يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مِن شَىْءٍ لَّمَّا جَآءَ أَمْرُ رَبِّكَ ۖ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Dan sesembahan yang mereka sembah selain Allah itu tidak dapat menolong mereka sedikit pun tatkala datang azab Rabbmu; dan sesembahan itu hanya menambah kebinasaan bagi mereka.” [QS. Hud: 101].
Sebelumnya: Kisah Nabi Hud ‘Alaihissalam
Selanjutnya: Kisah Nabi Shalih ‘Alaihissalam