mim.or.id – Faedah dari Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam
(Diterjemahkan dan disadur dari kitab Qashash al-quran lil ‘allamah as-sa’dy disusun oleh fayiz bin sayyaf bin as-suraih)
Oleh: Sayyid Syadly
Faedah dari Kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam
Di antaranya:
Pertama: Semua rasul, dari Nabi Nuh ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad ﷺ, memiliki kesamaan dalam menyeru umatnya kepada tauhid yang murni dan melarang syirik.
Nabi Nuh ‘alaihissalam dan nabi-nabi lainnya pertama-tama berkata kepada kaumnya, “Sembahlah Allah, kalian tidak memiliki sembahan yang berhak disembah selain-Nya” (Al-A’raf: 59), dan mereka mengulangi prinsip tauhid ini dengan berbagai cara.
Kedua: Etika dalam berdakwah dan kesempurnaannya.
Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah kepada kaumnya siang dan malam, secara diam-diam dan terang-terangan, di setiap waktu dan dalam setiap keadaan yang diharapkan bisa membawa kesuksesan dalam dakwah.
Beliau menawarkan ganjaran langsung berupa keselamatan dari azab, keberkahan harta dan anak, serta kelimpahan rezeki jika mereka beriman, dan juga ganjaran di akhirat.
Beliau memperingatkan mereka dari akibat buruk sebaliknya, dan bersabar dengan luar biasa dalam berdakwah, seperti para rasul lainnya.
Beliau berbicara dengan kata-kata lembut dan penuh kasih sayang, serta setiap kata yang bisa menarik hati dan mencapai tujuan, menyampaikan tanda-tanda dan menjelaskan bukti-bukti.
Ketiga: Tuduhan yang digunakan oleh musuh para rasul untuk menentang dakwah mereka sebenarnya menjadi bukti kebenaran para nabi dan membantah klaim para penentang.
Perkataan yang mereka lontarkan tanpa dasar ilmu tidak memiliki nilai di mata setiap orang yang berakal. Seperti yang dikatakan oleh kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam,
مَا نَرَىٰكَ إِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرَىٰكَ ٱتَّبَعَكَ إِلَّا ٱلَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِىَ ٱلرَّأْىِ وَمَا نَرَىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِن فَضْلٍۭ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَٰذِبِينَ
“Kami tidak melihatmu melainkan (sebagai) manusia biasa seperti kami, dan kami tidak melihat yang mengikuti kamu kecuali orang-orang hina dina di antara kami yang sekilas saja berpikir, dan kami tidak melihat kalian memiliki kelebihan atas kami, bahkan kami menganggap kalian orang-orang yang berdusta” (QS. Hud: 27).
Jika kita cermati, pernyataan-pernyataan ini hanyalah tipu daya yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya menentang kebenaran secara keras kepala.
Mereka mengatakan, “Kami tidak melihatmu melainkan sebagai manusia biasa seperti kami” (Hud: 27). Apakah ada keraguan bahwa kebenaran datang melalui manusia?
Makna dari perkataan ini adalah bahwa setiap ucapan manusia dari mana pun sumbernya adalah batil, dan ini merupakan celaan terhadap semua ilmu yang diperoleh manusia dari sesama manusia, padahal sudah jelas bahwa pernyataan semacam ini tidak memiliki dasar, menggugurkan seluruh ilmu jika diikuti secara menyeluruh. Apakah manusia memiliki ilmu selain yang mereka peroleh satu sama lain, yang tentunya bervariasi dalam kualitas dan kebenarannya? Ilmu yang paling agung, paling benar, dan paling bermanfaat adalah ilmu yang diperoleh manusia dari para rasul, yang ilmu mereka berasal dari wahyu ilahi.
Mereka juga berkata, “Kami tidak melihat bahwa kalian memiliki kelebihan atas kami” (Qs. Hud: 27), seolah-olah mereka dan para rasul hanyalah manusia biasa.
Para rasul telah menjawab pernyataan semacam ini dengan berkata,
إِن نَّحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَمُنُّ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۖ
“Kami hanyalah manusia seperti kalian, tetapi Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya” (Ibrahim: 11).
Jadi Allah menganugerahkan wahyu dan risalah kepada para rasul. Sungguh, menolak para rasul karena alasan ini menunjukkan ketidaktahuan yang besar dan adalah suatu penghinaan terhadap nikmat Allah.
Karena, dalam rahmat dan hikmah-Nya, Allah menjadikan para rasul dari kalangan manusia agar umat-Nya dapat belajar dari mereka, dan nikmat ini mudah diterima dan dipahami oleh manusia.
Selain itu, pernyataan mereka, “Kami tidak melihat pengikutmu kecuali orang-orang rendah di antara kami” (Qs. Hud: 27), adalah sesuatu yang bisa dipahami oleh setiap orang yang berakal.
Kebenaran dikenal sebagai kebenaran karena hakikatnya, bukan berdasarkan siapa yang mengikutinya. Pernyataan ini jelas berasal dari kesombongan dan keangkuhan, yang merupakan penghalang terbesar bagi seseorang untuk mengenal dan mengikuti kebenaran.
Dan lagi, kata “orang-orang rendah” ini bisa diartikan sebagai kaum yang miskin, namun kemiskinan bukanlah suatu aib. Jika yang dimaksud adalah orang-orang rendah dari segi akhlak, maka ini adalah kebohongan yang jelas.
Orang-orang rendah sebenarnya adalah mereka yang mengatakan pernyataan tersebut. Apakah keimanan kepada Allah dan para rasul-Nya, ketaatan kepada Allah dan para rasul-Nya, serta ketundukan pada kebenaran, yang bebas dari sifat-sifat tercela, bisa dianggap hina?
Atau justru kehinaan terletak pada sebaliknya, yakni dalam meninggalkan kewajiban utama: mentauhidkan Allah, mensyukuri-Nya, dan memenuhi hati dengan kesombongan terhadap kebenaran dan sesama?
Inilah kehinaan terbesar, namun orang-orang tersebut malah memusuhi orang-orang baik itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Terpuji.
Mereka juga berkata, “secara terburu-buru” (Qs. Hud: 27), yakni, menurut mereka, para pengikut Nabi Nuh tergesa-gesa dalam beriman tanpa berdiskusi atau berpikir panjang.
Sekiranya hal ini benar, maka justru ini merupakan salah satu bukti kebenaran. Kebenaran memiliki bukti, cahaya, keagungan, kemuliaan, kejujuran, dan ketenangan yang tidak membutuhkan konsultasi untuk diikuti.
Hal-hal yang membutuhkan konsultasi adalah perkara yang tersembunyi, yang hakikat dan manfaatnya tidak jelas. Sedangkan iman lebih terang dari matahari dan lebih manis dari segala sesuatu. Yang menolaknya hanyalah orang-orang sombong dan kejam seperti para tiran yang melawan kebenaran ini.
Mereka juga berkata, “Kami tidak melihat bahwa kalian memiliki kelebihan atas kami” (Qs. Hud: 27). Pernyataan ini sangat jauh dari keadilan, karena mereka hanya membicarakan diri mereka sendiri.
Bisa jadi, perkataan mereka mencerminkan isi hati mereka atau mungkin mereka hanya berbicara tanpa keyakinan. Dalam kedua kasus tersebut, kebenaran tetap harus diterima, apakah ia disampaikan oleh seseorang yang unggul atau kurang unggul, sebab kebenaran selalu berada di atas segalanya.
Selanjutnya, mereka berkata, “Bahkan kami menduga kalian berdusta” (Qs. Hud: 27). Telah diketahui bahwa dugaan adalah perkataan yang paling lemah. Bahkan jika mereka berkata, “Kami tahu kalian berdusta,” itu tetaplah perkataan kosong yang bisa dikatakan oleh siapa saja yang menentang.
Namun, dengan apa mereka membuktikan bahwa Nabi Nuh berdusta? Argumentasi mereka saling membatalkan satu sama lain, sebagaimana yang terlihat. Apalagi ketika dihadapkan dengan bukti-bukti kuat dari para rasul yang membantah setiap keraguan.
Keempat: Merupakan keutamaan dan bukti kerasulan para nabi adalah ketulusan total mereka kepada Allah dalam ibadah mereka yang bersifat pribadi maupun yang bermanfaat bagi umat, seperti dakwah dan pengajaran.
Oleh karena itu, mereka selalu menyampaikan kepada umatnya,
وَيَٰقَوْمِ لَآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا ۖ إِنْ أَجْرِىَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ ۚ
“Wahai kaumku, aku tidak meminta imbalan dari kalian; pahalaku hanyalah dari Allah” (Hud: 29).
Maka, keutamaan terbesar bagi para pengikut rasul adalah meneladani mereka dalam hal ini. Allah akan memberikan kepada mereka, dengan keutamaan-Nya, kemuliaan di dunia dan akhirat yang jauh melebihi apa yang diperebutkan oleh pencari dunia.
Kelima: Menghina niat orang-orang beriman dan meremehkan nikmat serta keutamaan yang Allah berikan kepada mereka adalah karakteristik para musuh nabi.
Karena itulah Nabi Nuh berkata kepada kaumnya yang merendahkan orang-orang beriman,
وَلَآ أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِىٓ أَعْيُنُكُمْ لَن يُؤْتِيَهُمُ ٱللَّهُ خَيْرًا ۖ ٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِىٓ أَنفُسِهِمْ ۖ
“Aku tidak akan mengatakan kepada orang-orang yang dipandang rendah oleh pandangan kalian bahwa Allah tidak akan memberikan mereka kebaikan. Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam jiwa mereka” (Hud: 31).
Keenam: Hendaknya kita senantiasa meminta pertolongan kepada Allah, menyebut nama-Nya ketika menaiki atau turun dari kendaraan, dan dalam segala perubahan serta gerakan.
Disyariatkan pula untuk memuji Allah dan banyak mengingat-Nya ketika mendapatkan nikmat, terutama ketika selamat dari kesulitan. Sebagaimana firman-Nya,
وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ ۚ
“Dan dia (Nuh) berkata, ‘Naiklah ke dalamnya (bahtera), dengan menyebut nama Allah saat berlayar dan saat berlabuh'” (Hud: 41).
Dan firman-Nya,
فَإِذَا ٱسْتَوَيْتَ أَنتَ وَمَن مَّعَكَ عَلَى ٱلْفُلْكِ فَقُلِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى نَجَّىٰنَا مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas kapal, maka ucapkanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari kaum yang zalim'” (Al-Mu’minun: 28).
Juga disyariatkan untuk berdoa memohon keberkahan ketika singgah di suatu tempat, baik tempat persinggahan sementara dalam perjalanan atau tempat tinggal yang tetap, seperti rumah. Firman Allah,
وَقُل رَّبِّ أَنزِلْنِى مُنزَلًا مُّبَارَكًا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْمُنزِلِينَ
“Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tempatkanlah aku di tempat yang diberkahi, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi tempat'” (Al-Mu’minun: 29).
Dalam semua hal ini, mengingat Allah memberikan kekuatan dalam segala gerakan dan ketenangan, meningkatkan ketawakkalan kepada Allah, serta menurunkan keberkahan dari Allah yang merupakan nikmat terbaik yang menyertai hamba dalam seluruh keadaan mereka.
Ketujuh: Bahwa takwa kepada Allah dan menjalankan kewajiban iman adalah salah satu sebab tercapainya kebaikan dunia, seperti keberkahan dalam keturunan, rezeki yang melimpah, dan kekuatan jasmani.
Walaupun ada sebab-sebab lain, ketakwaan adalah satu-satunya sebab untuk mendapatkan kebaikan akhirat dan keselamatan dari azabnya.
Kedelapan: Bahwa keselamatan dari hukuman dunia yang bersifat umum diperuntukkan bagi orang-orang beriman, yaitu para rasul dan pengikutnya.
Sedangkan hukuman dunia yang bersifat umum biasanya hanya menimpa para penjahat dan pelaku kejahatan. Mereka yang mengikuti kaum pendosa, seperti keturunan mereka dan hewan-hewan, juga turut terkena dampak meskipun mereka tidak berdosa.
Ketika Allah menimpakan hukuman atas kaum yang mendustakan, hukuman tersebut mencakup anak-anak dan hewan. Adapun yang disebutkan dalam beberapa kisah Israiliyat bahwa Allah membuat rahim mandul agar anak-anak mereka tidak turut terkena hukuman, ini tidak memiliki dasar dan bertentangan dengan hal yang diketahui secara umum.
Hal ini sejalan dengan firman Allah,
وَٱتَّقُوا۟ فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنكُمْ خَآصَّةً ۖ
“Dan takutlah kalian terhadap suatu fitnah yang tidak hanya akan menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian.” (Qs. Al-Anfal: 25).