spot_img

Kisah Sebuah Puisi

Namanya Hana’ Tsarwat. Seorang bintang film terkenal. Cukup lama ia hidup di dunia artis. Namun kini ia telah mengetahui jalannya. Sejak itu, ia pun berkomitmen untuk menjalaninya. Kini ia banyak menangis mengenang masa lalunya. Menangis penuh taubat kepada Allah. Berikut kisahnya…

Hari itu, aku menyelesaikan semua pekerjaan rumahku tepat setelah waktu Ashar hari itu. Setelah aku menenangkan anak-anakku dan mereka pun mulai mengulangi pelajarannya, aku pun duduk di ruang tengah untuk membaca majalah kesukaanku. Tapi tiba-tiba sesuatu menarik perhatianku. Aku perbaiki pendengaranku mendengarkan suara yang muncul dari salah satu kamar.

Ternyata itu berasal dari kamar putriku yang tertua. Suaranya meninggi sesekali, lalu hilang. Aku berdiri untuk mencari tahu ada apa. Kemudian aku kembali ke tempatku ketika kulihat putri kecilku memegang sebuah buku di tangannya sambil berkeliling di ruangan itu dengan gembira. Ia melantunkan apa yang ia baca. Rupanya pihak sekolah memberinya hadiah buku Diwan Ahmad Syauqi (Antologi Puisi Ahmad Syauqi, seorang penyair besar Mesir-penj) karena prestasinya di sekolah. Dan dengan lidah kanak-kanaknya ia terus mengulangi kalimat puisi itu:

Mereka telah menipunya dengan mengatakan ia cantik

Lalu para pelantun menipunya dengan pujian

Aku tidak tahu mengapa putriku mengulang-ulangi bait tersebut. Mungkin saja kalimat itu menyenangkannya…

Aku pun ikut mengulangi bait-bait itu bersamanya. Entah mengapa, air mataku mengalir bersama bait-bait puisi itu. Jemariku mengusapkan tisu ke atas bulir-bulir air mata yang menetes. Dan suara putriku terus mengulangi ungkapan: “Mereka telah menipunya…”

Benar sekali. Dahulu pada diriku ini telah dilakukan berbagai bentuk “penipuan” yang dilakukan oleh banyak pihak. Akar tragedi itu bermula ketika aku masih seorang anak kecil yang lugu bagi sepasang orang tua muslim. Seharusnya mereka selalu merasakan tanggung jawab terhadap titipan Allah untuk mereka, yaitu aku.

Namun bagaimana pun juga aku memohon kepada Allah untuk memaafkan mereka. Mereka selalu sibuk. Masing-masing larut dalam pekerjaannya. Ayahku –tentu saja- selalu keluar rumah bekerja keras terus-menerus dan meninggalkan beban keluarga kepada ibuku, yang kemudian terpaksa harus membagi perhatiannya antara pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah. Ditambah lagi urusan-urusan pribadinya. Tentu saja, aku tidak mendapatkan perhatian dan pembinaan yang seharusnya.

Ketika aku memasuki usia 13 tahun, aku hidup dalam kebimbangan, kegelisahan dan ketakutan terhadap segala hal. Semua itu berdampak pada perilakuku yang memberontak di masa SD, berusaha mencari perhatian. Di samping memang ada sesuatu dalam diriku yang menarik perhatian begitu besar.

Benar sekali, Allah telah mengaruniakanku paras yang cantik dan suara yang merdu. Itu membuat guru musikku mendampingiku hampir setiap waktu. Ia menjanjikanku kesempatan-kesempatan bernyanyi seperti yang ada di televisi. Hingga akhirnya aku menjadi murid terbaik yang melakukan itu di acara-acara sekolah.

Aku masih mengingat betul suatu hari di mana mendapatkan penghargaan atas prestasiku dalam bidang menyanyi, menari dan seni peran antar sekolah dasar di negeriku. Miss Lailayan, ibu kepala sekolah kami yang orang asing itu memelukku dan menciumiku, sambil mengatakan kepada temannya: “Misi kita telah berhasil! Ia –sambil menunjuk ke arahku- adalah bukti keberhasilan kita. Kita tahu bagaimana harus menjaga anak ini demi keberhasilan misi sekolah kita!”

Khayalanku yang polos saat itu menggambarkan padaku bahwa aku akan terus bersama dengan ibu guruku dan ibu kepala sekolah itu. Aku sungguh bahagia mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang selama ini hilang dariku. Meskipun yang kuperhatikan kasih sayang mereka agak aneh. Nanti aku baru menyadari ada apa di sebaliknya jauh setelah itu. Aku akhirnya menyadari apa sebenarnya maksud dari perhatian yang berlebih itu!! Allah Ta’ala mengatakan:

“Wahai orang-orang beriman! Jika kalian menaati kelompok orang-orang yang diberikan al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian setelah beriman menjadi orang-orang kafir.” (Ali Imran)

Terus terang, aku tidak bisa mengingkari betapa besar kebanggaanku untuk menjadi seperti itu pada masa-masa itu. Apalagi setelah aku dikontrak oleh salah seorang produser film sebagai salah seorang artis tetapnya!! Betapa ibuku juga begitu membanggakan putrinya yang berbakat ini, di depan kenalan dan kawan-kawannya. Ia hampir-hampir melonjak-lonjak gembira ketika ia melihat gambarku di layar televisi, sahabat sejatinya.

Aku mabuk. Aku lupa daratan saat berjalan dengan pakaian model yang mewah, perhiasan yang mahal dan kendaraan yang mewah. Namaku memenuhi berbagai wawancara, komentar-komentar media dan berbagai foto-foto poseku yang menghiasi sampul-sampul majalah.

Hingga akhirnya para agensi periklanan mulai menjalin kontrak denganku untuk menggunakan nama –namaku saja!- untuk mempromosikan produk dan barang-barang mereka!

Hidupku dipenuhi dengan kekaguman dan jadi idola di tengah-tengah anak-anak remaja putri. Dan pada sisi yang lain, kedudukanku mengundang rasa dengki dan kecemburuan di hati rekan-rekan kerjaku. Terutama mereka yang telah memasuki usia redup. Operasi kecantikan tidak mampu lagi mengembalikan kecemerlangan masa muda mereka.

Akibatnya mereka pun berpaling mengonsumsi narkoba. Dunia mereka tidak lagi tersisa selain menghirup udara popularitas di lingkungan ini. Mereka telah menjelma menjadi patung-patung hidup menuju jalan kehancuran. Mungkin saja putri kecilku bertanya-tanya: “Apakah ibu dulu benar-benar bahagia, wahai ibu?!”

Duhai putri tercintaku, engkau tidak tahu bahwa aku dulu adalah serpihan kesengsaraan dan duka. Aku telah hidup dan merasakan semua yang terkandung dalam kamus kesengsaraan dan kesusahan dari semua peristiwa!!

Hanya seorang yang hidup bersama dengan segala kesedihanku. Aku merasa sangat teduh dengan kelembutannya dalam perjalanan kesengsaraanku yang gemerlap ini. Meskipun ia “hanyalah” bibiku, namun aku menjadikannya tempatku mengadukan segala sesuatu. Cukuplah bahwa ia adalah seorang wanita yang mulia, istri yang mukminah dan seorang ibu yang shalehah. Aku mendatanginya dari waktu ke waktu. Aku mengambil bekal dari nasehat-nasehatnya. Aku tunduk mendengarkan peringatan-peringatannya. Aku menerima semua cara yang ia gunakan untuk meluruskanku.

Ia berusaha membuka pintu-pintu hatiku yang tertutup. Namun syetan selalu memenangkan sisi kebaikan yang begitu berlimpah dalam diriku. Semua karena sedikitnya imanku, kemauanku yang lemah dan kebergantunganku selalu pada penampilan. Meskipun tetap saja ia tidak bisa membungkam suara fitrahku yang berteriak, yang memancar dari sahara hatiku yang tertipu…

Suatu waktu, kalangan selebriti dan media mengadakan pesta menyambut seorang bintang Hollywood yang sangat ternama. Pada hari itu, aku terpaksa menyampaikan beberapa basa-basi yang memang harus disampaikan dalam momentum seperti ini!!

Aku memanfaatkan waktu jeda pergantian peran di panggung dengan pergi menyendiri di sebuah tempat yang sepi untuk sekedar mengatur nafas. Aku melihat seorang pria duduk di tempat tidak jauh dariku. Tiba-tiba saja aku terdorong untuk “mengusik” ketenangannya. Tanpa pengantar, aku bertanya tentang pandangannya seputar kaum wanita. Ia mengatakan bahwa pria adalah pria, wanita adalah wanita. Masing-masing mempunyai kedudukan yang spesial, sesuai dengan tabiat penciptaannya.

Aku terus melanjutkan obrolanku dengannya. Aku sungguh takjub ternyata masih ada manusia berakal di tengah kalangan seperti ini…Yang aku pahami dari ucapannya bahwa ia akan mengorbankan kekayaan dan popularitasnya. Ia akan mencari pekerjaan terhormat yang lebih bermanfaat di mana ia akan mengembalikan kehormatannya. Hal lain yang kutangkap dari pembicaraannya adalah ketika ia mengatakan:

“Jika kelak aku menikah, maka istriku akan menjadi ibu dan istri dengan pengertian yang sesungguhnya, yang memahami tanggung jawab dan kewajibannya. Kami akan mempunyai sebuah misi yang harus kami penuhi terhadap anak-anak, agar mereka tumbuh di atas nilai kemuliaan dan keistiqamahan seperti yang diperintahkan oleh Allah, jauh dari hal-hal yang menggelincirkannya.

Ia mengucapkan kalimat-kalimat lebih dari itu…yang membangunkan suara fitrah dalam diriku. Mengajakku melakukan perjalanan suci dari lembah yang kering menuju cahaya kebenaran yang sejuk. Aku merasakan bahwa aku berada di hadapan pria yang pantas untuk menjadi ayah bagi anak-anakku. Ia jauh berbeda dengan pria-pria yang biasa kutemui dan aku menolak untuk bersama dengan mereka.

Tidak lama kemudian, Allah menakdirkan kami menikah.

Seperti biasa, pernikahan kami pun segera menjadi kisah musim itu di berbagai media; di mana mereka memang selalu hidup dengan kabar-kabar seperti ini. Namun sebuah kejutan membuat semua pihak terkejut. Setelah kunjungan kami ke Tanah Suci, kami “menceraikan” kehidupan yang kosong, penuh kesia-siaan dan kemaksiatan.

Aku akan komitmen mengenakan jilbabku dan menjalankan semua ajaran Islam dengan konsisten. Di samping tentu saja, memberikan perhatianku sepenuhnya kepada kerajaan kecilku –rumah tanggaku-, untuk merawat suami dan anak-anakku sesuai ajaran Allah dan RasulNya. Adapun suamiku, Allah telah mengaruniakannya semangat untuk mendalami agama dan mengajarkannya kepada orang banyak di mesjid.

Anak-anakku tercinta tidak pernah tahu bahwa ayah mereka dengan sorbannya dan ibu mereka dalam jilbabnya, dahulu adalah orang yang tersesat hingga Allah memberikan hidayah kepada mereka, dan membuat mereka merasakan manisnya taubat dan iman.

Bibiku yang baik itu menangis terharu karena gembira. Kini ia telah melihat buah perhatiannya terhadapku pada hari-hari yang lalu. Dan hingga detik ini, ia masih memelukku seperti dahulu ketika aku masih kecil.


Alih Bahasa:
Muhammad Ihsan Zainuddin
Pembina https://kuliahislamonline.com
Sumber: Qashash Mu’atstsirah Jiddan Lil Fatayat

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.