spot_img

Riyadhusshalihin (Bab Mujahadah) Allah Haramkan Kedzaliman (Sesi 1)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Dari Said bin Abdul Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris al-Khawlani dari Abu Zar, yaitu Jundub bin Junadah Radhiyallahu ‘anhu. dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sesuatu hadits yang diriwayatkan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala, bahwasanya Allah berfirman ini adalah hadits Qudsi:“Hai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan pada diriku sendiri akan menganiaya (berbuat zhalim) dan menganiaya perbuatan zhalim itu Kujadikan haram diantara engkau sekalian. Maka dari itu, janganlah engkau sekalian saling menganiaya. Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu tersesat, kecuali orang yang Kuberi petunjuk. Maka itu mohonlah petunjuk padaKu, engkau semua tentu Kuberi petunjuk itu. Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu lapar, kecuali orang yang Kuberi makan. Maka mohonlah makan padaKu, engkau semua tentu Kuberi makanan itu. Wahai hamba-hambaKu, engkau semua itu telanjang, kecuali orang yang Kuberi pakaian. Maka mohonlah pakaian padaKu, engkau semua tentu Kuberi pakaian itu. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya engkau semua itu berbuat kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku inilah yang mengampunkan segala dosa. Maka mohon ampunlah padaKu, pasti engkau semua Kuampuni. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya engkau semua itu tidak dapat membahayakan Aku. Maka andaikata dapat, tentu engkau semua akan membahayakan Aku. Lagi pula engkau semua itu tidak dapat memberikan kemanfaatan padaKu. Maka andaikata dapat, tentu engkau semua akan memberikan kemanfaatan itu padaKu. Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula -awal diciptakan- hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama bersatu padu seperti hati seorang yang paling taqwa dari antara engkau semua, hal itu tidak akan menambah keagungan sedikitpun pada kerajaanKu. Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula -awal diciptakan- hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama bersatu padu seperti hati seorang yang paling curang dari antara engkau semua, hal itu tidak akan dapat mengurangi keagungan sedikitpun pada kerajaanKu. Wahai hamba-hambaKu, andaikata orang yang paling mula-mula -awal diciptakan- hingga yang paling akhir, juga semua golongan manusia dan semua golongan jin, sama berdiri di suatu tempat yang tinggi di atas bumi, lalu tiap seorang meminta sesuatu padaKu dan tiap-tiap satu Kuberi menurut permintaannya masing-masing, hal itu tidak akan mengurangi apa yang menjadi milikKu, melainkan hanya seperti jarum bila dimasukkan ke dalam laut -jadi berkurangnya hanyalah seperti air yang melekat pada jarum tadi. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya semua itu adalah amalan-amalanmu sendiri. Aku menghitungnya bagimu lalu Aku memberikan balasannya. Maka barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji kepada Allah dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, hendaklah jangan menyesali kecuali pada dirinya sendiri.” Said berkata: “Abu Idris itu apabila menceritakan hadits ini, ia duduk di atas kedua lututnya”. (Riwayat Muslim) Kami juga meriwayatkannya dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan ia berkata:”Tidak sebuahpun hadits bagi ahli Syam yang lebih mulia dari hadits ini“.

Said bin Abdul Aziz dari Rabi’ah bin Yazid dari Abu Idris al-Khawlani beliau termasuk salah seorang tabi’in yang pernah berjumpa dengan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu di masjid damaskus beliau masuk masjid damaskus kemudian beliau melihat ada seorang pemuda dimana ia dikelilingi oleh banyak orang dari mulutnya nampak seperti mutiara yang keluar karena dia menyampaikan ayat – ayat Al-Qur’an dan hadist – hadist Nabi, ketika yang hadir dalam majelis Ibnu Mas’ud berselisih mereka bertanya kepada beliau dan mereka mendapatkan jawaban yang memuaskan darinya. Abu Idris bertanya kepada peserta majelis:“Siapa lelaki ini, siapa pemuda ini
.?”, orang – orang berkata:”Inilah Abdullah Ibnu Mas’ud sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari sinilah akhirnya Abu Idris berazzam dengan berkata:“Besok pagi saya akan ke masjid ini untuk berjumpa dengan beliau”. Keesokan harinya beliau bercepat ke masjid begitu masuk masjid ternyata Ibnu Mas’ud sudah ada didalam masjid beliau kemudian mendekatinya dan berkata:”Saya cinta anda karena Allah Subhanahu wata’ala”, dan ini sunnah, siapa yang cinta kepada saudaranya hendaknya ia sampaikan rasa cinta itu kepada saudaranya, ketika Ibnu Mas’ud mendengar Abu Idris berkata seperti itu beliau balik bertanya:”Betul engkau mencintaiku karena Allah bukan karena yang lain”, ia berkata:”Betul, aku mencintai anda karena Allah”, Ibnu Mas’ud berkata:”Jika begitu bergembiralah, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Telah berhak mendapatkan kecintaan dariku kata Allah orang yang saling mencintai karenaku, orang yang saling menziarahi karenaku, orang yang saling memberi karenaku“, ini kabar gembira yang disampaikan Ibnu Mas’ud kepada Abu Idris Al Khawlani Rahimahullah.

Beliau juga meriwayatkan hadist ini dari Abu Dzar Jundub ibn Junadah Radhiayallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sesuatu hadits yang diriwayatkan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (ini disebut dengan hadist qudsi).

Adapun perbedaan hadist qudsi dengan Al-Qur’an, hadist qudsi tidak bisa dibaca dalam sholat adapun Al-Qur’an dibaca dalam sholat, hadist qudsi ada beberapa derajat ada yang shahih, ada yang hasan, lemah, palsu dll, adapun Al-Qur’an tidak ada keraguan didalamnya, siapa yang membaca Al-Qur’an setiap huruf mendapatkan kebaikan dan dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat adapun hadist qudsi tidak ada keutamaan khusus seperti itu sama membaca hadist – hadist yang lain, Al-Qur’an dijaga oleh Allah sampai hari kiamat walaupun Allah menjaga Al-Qur’an berarti Allah juga menjaga hadist sebagaimana perkataan Nabi:

أَلاَ إِنِّي أُتِيْتُ الْكِتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya”.

Semisal dengannya yang dimaksud adalah hadist – hadist yang disampaikan kepada Rasulullah, hadist qudsi bisa diriwayatkan dengan makna misalkan lafadznya kita tidak hafal maka bisa dinukil dengan maknanya dan tidak mesti pas teksnya adapun Al-Qur’an tidak bisa diriwayatkan dengan makna tetapi harus makna dengan lafadznya karena ayat – ayat Al-Qur’an tidak boleh kita reka – reka.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meriwayatkan dari Allah Subhanahu wata’ala dan ini hadist yang sangat agung, Allah berfirman:”Hai hamba-hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan pada diriku sendiri akan menganiaya (berbuat zhalim) dan menganiaya perbuatan zhalim itu Kujadikan haram diantara engkau sekalian. Maka dari itu, janganlah engkau sekalian saling menganiaya”.

Jadi Allah mengharamkan kedzaliman dan Allah tidak mungkin berbuat dzalim kepada hambanya, Allah berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (QS. Zalzalah: 7-8).

Bahkan sebaliknya Allah sangat luas rahmatnya kepada hamba – hambanya, Allah berfirman dalam surah Al-An’am:

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.(QS. Al An’am: 160).

Kebaikan yang kita lakukan baru sekedar niat sudah ditulis pahala walaupun tidak kita kerjakan adapun perbuatan dosa baru diniatkan maka belum menjadi dosa disisi Allah namun jika dikerjakan maka dituliskan satu dosa, adapun kebaikan jika dikerjakan dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat, Allah berfirman dalam surah Thaha:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا

“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya”. (QS. Thaha : 112).

Apa maknanya kata ulama:”Jangan ia khawatir untuk ditambahkan keburukan yang pernah ia lakukan dan jangan ia khawatir kebaikan yang pernah ia lakukan dikurangi nanti dihari kemudian, tidak sama sekali bahkan ditambahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala”.

Wallahu a’lam Bish Showaab 


Oleh : Ustadz Harman Tajang, Lc., M.H.I Hafidzahullahu Ta’ala (Direktur Markaz Imam Malik)

@Rabu, 14 Dzulqaidah 1440 H

Fanspage : Harman Tajang

Kunjungi Media MIM:
Fans page: https://www.facebook.com/markaz.imam.malik.makassar/

Website : https://mim.or.id

Youtube : https://www.youtube.com/c/MimTvMakassar

Telegram : https://telegram.me/infokommim

Instagram : https://www.instagram.com/markaz_imam_malik/

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.