spot_img

Riyadhussholihin “Muraqabatullah” Hadist Jibril (Islam, Iman, Ihsan, Kiamat) Beriman Kepada Allah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Beriman kepada Allah bukan hanya beriman terhadap keberadaan Allah, karena secara fitrah semua makhluk mengakui akan keberadaan Allah Subhanahu wata’ala, tetapi beriman kepada Allah Subhanahu baik rububiah, uluhiyah, asma wa sifat, adapun rububiah adalah perbuatan Allah Subhanahu wata’ala kepada makhluknya, dialah Allah yang menciptakan, yang memberi rezeki, yang menghidupkan, yang mematikan, adapun tauhid uluhiyah adalah mentauhidkan Allah dari segala peribadatan yaitu ketika seorang hamba tidak mempersekutukan Allah Subhanahu wata’ala, jadi tauhid uluhiyah adalah perbuatan hamba kepada Allah Subhanahu wata’ala, oleh karenanya ulama kita menyebutkan bahwasanya antara tauhid rububiah dengan tauhid uluhiah dikenal dengan Alaqatun Tadhamun artinya ada keterikatan yang sangat kuat bahkan disebut Alaqatun Talazum adalah merupakan sebuah kelaziman dalam artian ketika seorang hamba mengakui bahwa dia diciptakan oleh Allah Subhanahu wata’ala, dialah Allah yang menghidupkannya, dialah Allah yang memberikan kepadanya rezeki, dialah Allah yang mengatur segala urusannya sebagaimana firmannya:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-Fatihah : 02).

Ar Rabb artinya yang mengatur seluruh urusan hamba – hambanya maka secara otomatis seorang hamba tidak boleh mengalihkan segala bentuk peribadatan kecuali hanya kepada yang menciptakannya. Perintah pertama didalam Al-Qur’an adalah perintah tantang tauhid, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah : 21-22).

Kandungan dalam ayat ini adalah tauhid rububiah, olehnya pada awal ayat Allah memerintahkan kita untuk mentauhidkannya pada rububiyahnya, jadi perintah pertama di dalam Al-Qur’an adalah perintah tentang tauhid dan larangan yang pertama didalam Al-Qur’an adalah larangan tentang kesyirikan setelah Allah menjelaskan ciptaannya Allah kemudian berfirman:

“……Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah : 22).

Ketika Rasulullah ditanya tentang kesyirikan beliau bersabda:

أَىُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ « أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ

Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?”,“Engkau membuat sekutu bagi Allah padahal Dia telah menciptakanmu”, jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam”. (HR. Bukhari no. 4477 dan Muslim no. 86).

Engkau menjadikan serikat bagi Allah padahal dialah yang menghidupkanmu, yang memberikan kepadamu rezeki, dipermisalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ibarat seseorang yang membeli budak untuk bekerja kepadanya, dia yang memberinya makan, dia yang memberinya minum, dia yang memberinya gaji tetapi dia bekerja untuk tetangganya, ini adalah sebuah kepongahan dan kekeliruan, oleh karenanya Allah Subhanabhu wata’ala sangat tidak senang ketika hambanya berbuat syirik bahkan Allah mengharamkan surga baginya, Allah berfirman:

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun”. (QS. Al Maidah: 72).

Pelaku kesyirikan tidak ada yang membantunya dihari kemudian adapun pelaku dosa besar masih ada yang dapat membantunya dan memberi syafaat kepadanya bahkan dosanya masih bisa diampunkan selama ia mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala, Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An Nisa’: 48).

Allah tidak mengampunkan dosa kesyrikan jika ia mati dalam kesyirikannya namun jika ia pernah melakukan kesyirikan lalu ia bertaubat maka Allah mengampuni dosanya bahkan dosa kesyrikannya sekalipun, tetapi jika dia tidak bertaubat sampai dia meninggal maka pada hari kemudian dia berada dalam bahaya yang sangat besar yaitu diharamkan baginya surga dan tauhidnya bisa batal dengan kesyirikan yang ia kerjakan walaupun ia sholat, puasa, berulang kali menunaikan ibadah haji dan umrah namun ketika ia terjatuh dalam kesyrikan maka Allah berfirman:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al An’am: 88).

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az Zumar: 65).

Tidak ada orang yang merugi ketika ia telah bekerja keras dengan jerih payah, banting tulang beribadah kepada Allah akan tetapi ia tidak dapat pahala sedikitpun disisi Allah melainkan dihapuskan seluruh pahalanya sehingga ia menjadi orang yang merugi dihari kemudian.

Begitupula dengan nama – nama dan sifat – sifat Allah Subhanahu wata’ala kita mengimaninya sebagaimana yang datang kepada kita tanpa kita berusaha untuk membelokkan maknanya, membatalkannya atau menta’wilkannya atau melencengkannya. sebagaimana yang datang kepada kita nas dari Al-Qur’an dan hadist maka kita mengimani seperti yang sampai kepada kita sebagaimana kata Imam Malik dan ini menjadi qaidah inti dalam memahami Asma Was Sifat ketika beliau ditanya tentang Al Istiwa, beliau mengatakan Istiwa Ma’lum (bersemayam)”, tetapi cara dan kaifiyahnya bagi Allah kita tidak tahu karena Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat”. (QS. Asy Syura: 11).

Dalam ayat lain Allah mengatakan:”Allah bersemayam diatas arsy”, karena ini kabar dari Allah maka kita mengimaninya, kemudian Imam Malik mengatakan:”Mengimaninya wajib dan mempertanyakannya adalah bid’ah”. Tidak perlu takalluf dan tidak perlu memberat-beratkan diri kita sebagaimana para salaf Rahimahullah.

Wallahu a’lam Bish Showaab 

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.