spot_img

Tetangga, Sebab Hidayahku

Aku menikah di usia dini. Mulanya aku adalah orang yang sangat tulus berkhidmat kepada suamiku. Aku begitu tunduk kepadanya, sampai-sampai aku seperti seorang anak kecil yang beitu patuh padanya. Aku akan melakukan semua yang ia perintahkan padaku, meskipun aku tumbuh besar dalam sebuah keluarga kaya di mana aku dilayani, bukan melayani.

Ayahku telah menceraikan ibuku yang kemudian menikah dengan pria lain, begitu pula ayahku telah menikah dengan wanita lain. Akibatnya aku pun kehilangan kasih sayang ibuku, seperti juga aku kehilangan bimbingan yang benar dari kedua orang tuaku.

Suamiku biasanya datang mengunjungi keluarganya sekali setiap 2 pekan, di mana ia bermalam di sana selama 2 malam. Saat seperti itu, aku biasanya memanfaatkannya untuk mengunjungi pamanku yang tinggal tidak jauh dari rumah kami.

Di sana aku menemukan kasih sayang yang lebih dari istri pamanku. Ia selalu memberiku apa saja yang aku minta. Namun sayangnya, ia bukanlah seorang wanita yang taat pada agama. Ia sering mengajakku pergi ke pasar, dan ke sana ke mari, melakukan berbagai hal yang melanggar etika agama, hal-hal yang tidak diridhai Allah. Akibatnya aku pun perlahan-lahan mengikuti gayanya…

Karena kawan itu akan mudah menarik kawannya –seperti kata kebanyakan orang-. Sejak saat itu, wanita yang tenang namun lengah itu telah berubah menjadi seorang wanita yang rusak kehormatan dan keras kepala kepada semua orang yang ada di sekelilingnya.

 Istri pamanku itu –semoga Allah memberinya petunjuk- selalu membujukku dengan mengatakan bahwa keluar rumah bagi wanita itu adalah sebuah kebebasan. Dan mengangkat suara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan adalah cara yang terbaik. Akibatnya aku mulai memperolok-olok siapa saja yang mencoba mengingatkanku dengan Allah atau mendakwahiku…

Aku bersenang-senang semauku. Aku bermain-main semauku, meskipun aku adalah seorang istri, dan aku mempunyai anak-anak. Tapi aku tidak pernah peduli. Dan persoalannya tidak berhenti sampai di sini. Aku bahkan pergi mengumpulkan teman-teman yang buruk akhlaknya.

Mereka selalu mengajakku menghadiri pesta-pesta dan keramaian, atau pergi ke pasar tanpa alasan. Dan karena aku adalah yang paling cerdas, cantik dan keras kepala serta paling kurang rasa malunya di antara mereka, maka akulah yang menjadi pemimpin mereka.

Yang lebih parah dari itu semua, aku mempercayai sihir dan meminta tolong dari para dukun, meskipun semua itu sangat berbahaya bagi aqidah.

Pada suatu hari, seorang wanita tetangga datang mengunjungiku. Selama ini aku tidak pernah punya perhatian dengan siapa pun yang tinggal di sekitarku. Aku tidak suka berinteraksi dengan mereka. Namun wanita ini entah mengapa begitu memperhatikanku, dan ia bersikeras untuk menziarahiku.

Meskipun ia adalah seorang wanita yang shalehah dan taat beragama, namun aku tidak suka duduk bersamanya. Aku selalu berusaha lari menghindarinya. Tapi ia tidak pernah putus asa. Kepadaku ia mengatakan: “Aku telah mengerjakan shalat istikharah: apakah aku singgah menemuimu sekali lagi atau tidak, dan Allah menakdirkanku untuk singgah menemui dan melihatmu…”

Hari demi hari berlalu –kurang lebih 2 bulan-.

Sekali waktu ia berbicara padaku, dan berkali-kali ia tidak bisa menemuiku. Ia pergi setiap hari setelah shalat Ashar untuk mengajarkan al-Qur’an kepada kaum wanita di mesjid yang bertetangga dengan kami. Setiap kali suamiku melihatnya, ia berdoa kepada Allah agar aku juga menjadi sepertinya. Wanita itulah yang selalu mengajakku untuk pergi ke mesjid bersamanya. Namun aku selalu menolaknya dengan berbagai macam alasan, agar aku tidak pergi bersamanya. Ia selalu mengatakan kepadaku:

Aku –demi Allah-, selalu bangun malam untuk shalat. Lalu aku mendoakanmu agar mendapat hidayah. Ketika aku berbolak-balik di tempat tidurku lalu mengingatmu, maka aku berdoa kepada Allah untukmu.”

Semua itu ia lakukan karena ia menangkap kecerdasan, kemampuan berargumentasi, kefasihan bahasa dan kemampuan menarik orang lain yang ada dalam diriku. 

Lalu datanglah hari ketika pembantuku pulang ke negerinya, dan aku sedang menunggu kedatangan pembantu lainnya. Tiba-tiba tetanggaku itu datang di saat aku sedang sibuk sekali menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Ia kemudian mengusulkan agar aku tidak lagi memakai pembantu di rumah.

Padahal jadwal kedatangan pembantu itu adalah setelah Ashar pada hari itu. Maka Allah pun menakdirkan kedatangan pembantu itu tertunda hingga sepekan lamanya. Sehingga jika tetanggaku itu datang, ia menemukanku di rumah.

Ia membantuku menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Ia sangat gembira menemuiku. Dan pada saat itu, entah mengapa aku sendiri mulai menyukainya. Aku melihatnya sebagai sosok wanita yang ramah, tidak seperti yang kubayangkan. Karena suamiku juga adalah seorang yang taat beragama, tapi ia selalu cemberut dan mengerenyitkan dahinya.

Akibatnya aku merasa bahwa yang seperti itu adalah kebiasaan semua orang yang taat beragama. Sampai akhirnya aku melihat dan bergaul dengan wanita ini. Akhirnya semua gambaran yang pernah ada di benakku tentang orang-orang yang taat beragama pun berubah.

Beberapa hari setelah itu, salah seorang kerabat wanitaku meninggal dunia. Aku pun bergi untuk menyampaikan bela sungkawaku. Ternyata wanita itu telah ada dan berbicara tentang kamian dan apa yang akan dilewati oleh manusia saat kematiannya; mulai dari sakaratul maut, keluarnya ruh, kemudian kubur dengan semua kedahsyatan dan pertanyaan malaikat…hingga berakhir dengan masuk surga atau neraka…

Di titik itulah aku berhenti dan merenung bersama diriku dengan mengatakan: “Sampai kapan kelalaian ini? Kematian terus mengejar kita di setiap waktu dan di setiap tempat…

Aku terus berpikir…dan berpikir. Dan itupun menjadi sebuah awal…

Di keesokan paginya, aku menemukan diriku seorang diri. Dan untuk pertama kalinya, aku merasakan ketakutan…Aku tiba-tiba teringat kesendirian di alam kubur, kegelapan dan ketakutannya.

Akhirnya aku pergi menemui wanita tetangga kami yang tulus itu untuk menenangkanku. Ternyata ia membawakanku beberapa buku nasehat yang bermanfaat. Setiap kali aku membacanya, aku selalu merasa bahwa akulah yang diajak berbicara oleh buku-buku itu, khususnya pada tema yang berkaitan dengan introspeksi diri (muhasabah al-nafs).

Dan aku terus membaca dan membaca, hingga akhirnya Allah melapangkan dadaku untuk menerima petunjuk dan kebenaran. Aku benar-benar merasakan manisnya iman. Pada saat itulah aku merasakan sebuah kebahagiaan yang hakiki, yang selama ini hilang dariku. Pandanganku tentang kehidupan pun berubah.

Kini aku tidak lagi menjadi wanita yang lalai dan tidak memperdulikan kehormatannya. Aku mulai menjauhi kawan-kawan burukku dan benci sekali dengan pusat-pusat perbelanjaan yang biasa aku datangi. Aku bahkan tidak suka keluar rumah kecuali untuk suatu keperluan atau hal darurat yang mendesak.

Aku kemudian bergabung ke sebuah majlis penghafal al-Qur’an. Dan semua itu karena karunia Allah, lalu dampak dari pertemanan yang shalehah dan doa-doa yang ikhlas dari suami serta tetanggaku. Alhamdulillah.


Alih Bahasa:
Muhammad Ihsan Zainuddin
Pembina https://kuliahislamonline.com
Sumber: Qashash Mu’atstsirah Jiddan Lil Fatayat

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.