Syeikh Umar Al Muqbil Hafidzahullah mengambil penggalan ayat dalam surah Al-Baqarah. Allah Subhanahu wata’ala Berfirman:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu”. (QS. Al Baqarah :216).
Tidak ada satu pun yang mengetahui perkara yang ghaib sampai pada Nabi dan Rasul Allah Subhanahu wata’ala
عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٖ
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”. (QS. Al Jin : 26-27).
Dan tidak ada perkara ghaib tersebut yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul kecuali yang diridhai, dan apa yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul adalah merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala namun secara keseluruhan mereka tidak mengetahui perkara perkara yang ghaib. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ
“Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku”. (QS. Al A’raf :188).
Andaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwasanya para sahabat akan terbunuh dalam perang uhud tentu Rasulullah tidak akan membawa para sahabat tersebut dalam peperangan melawan orang-orang kafir Quraisy.
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun dilangit dan dibumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”.(QS. An Naml :65).
Dari sinilah mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dalam hadistnya untuk medatangi tukang ramal dan dukun. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Abu Daud). Dalam Hadist yang lain tidak diterima sholatnya selama 40 hari. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa mendatangi peramal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari”. (HR. Muslim).
Jadi jika ia mempercayai ramalan dari apa yang dikatakan oleh tukang ramal yang bisa meramalkan nasib seseorang sesuai dengan tanggal lahirnya, bintangnya, telapak tangannya dan yang semisal dengannya maka dia telah kafir dari apa yang diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dimana dalam ayat Al-Qur’an Allah Subhanahu wata’ala mengatakan:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”. (QS. An Naml :65).
Namun keyakinan seorang muslim apa yang terjadi dalam segala hidupnya baik itu kebaikan dan keburukan tidak keluar dari pengaturan dan penguasaan Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Al Hadid : 22-23).
Ayat ini adalah merupakan keimanan yang harus diyakini oleh setiap muslim dari ketentuan dan ketetapan Allah Subhanahu wata’ala baik takdir yang baik, takdir yang buruk, takdir yang manis, takdir yang pahit. Tapi dengan satu keyakinan bahwa tidaklah Allah Subhanahu wata’ala menurunkan musibah dan keburukan yang terjadi kepada manusia kecuali ada kebaikan yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dari musibah dan keburukan tersebut, inilah yang merupakan ciri dan sifat keyakinan orang – orang beriman.
Berkata Ibadah Ibn Tsamit Radhiyallahu ‘anhu salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:”Engkau tidak akan pernah merasakan lezatnya kehidupan sampai engkau meyakini bahwasanya apa yang telah ditakdirkan untukmu tidak ada yang mampu untuk menghalanginya”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada putera pamannya Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu:
“Wahai anak(ku), sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat. Jagalah Allah Subhanahu wata’ala, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan menjagamu. Jagalah Allah Subhanahu wata’ala, niscaya engkau akan dapati Dia ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ketahuilah, seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan dapat memberikannya kecuali apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala tetapkan atasmu. Seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan mudarat kepadamu, mereka tidak akan dapat menimpakannya kecuali apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala tetapkan menimpamu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran.” (HR. At-Tirmidzi).
Oleh karena itu hendaknya seorang muslim memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wata’ala dan menggantungkan hatinya hanya semata – mata kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan inilah rahasia mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada para sahabat dan ummatnya untuk memperbanyak doa istikharah, bahkan salah seorang sahabat berkata:”Rasulullah mengajarkan kepada kami sholat istikharah seperti mengajarkan kepada kami membaca surah dalam Al-Qur’an”. Begitulah Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat karena begitu pentingnya sholat istikharah karena kita mengembalikan dan pasrahkan segala sesuatunya pada ilmu Allah Subhanahu wata’ala. Sebagaimana dalam doa yang diucapkan ketika selesai mengerjakan sholat istikharah,
“Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha dengannya. Kemudian dia menyebut keinginanya”. (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Ibn Hibban, Al-Baihaqi dan yang lainnya). Doa ini bisa diucapkan tatkala hendak memilih pasangan atau diperhadapkan 2 pilihan yang membuat kita sulit untuk menentukan yang terbaik untukku kita.
Oleh karenanya “Barangsiapa yang melibatkan Allah dalam setiap urusannya maka Allah tidak akan meninggalkannya tatkala ia mendapatkan masalah”. Maka hendaknya melibatkan Allah dalam setiap urusan kita, jangan bergantung pada diri sendiri dengan kemampuan yang dimiliki baik harta maupun kecerdasan. Ketika kita mendapatkan masalah maka Allah tidak akan membiarkan kita seorang diri dalam menjalani masalah yang dihadapi.
Umar Bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata:”Tidak akan pernah menyesal orang yang beristikharah dan tidak akan pernah merugi orang yang beristisyarah”.
Kemudian setelah mengambil sebuah keputusan dan menjalaninya dan ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan dan cita – citakan serta harapkan maka ingat ayat yang telah disebutkan pada surah Al Baqarah:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu”. (QS. Al Baqarah :216)”
Syeikh Umar Al Muqbil Hafidzahullah kemudian menyebutkan contoh kisah yang berkaitan dengan ayat yang menjadi tema pembahasan, sebagaimana kisah dalam surah Al kahfi ketika musa bertanya kepada khidir mengapa engkau membunuh anak yang tidak berdosa (apa yang dilakukan oleh Khidir adalah wahyu dari Allah Subhanahu wata’ala_penj) beliau mengatakan:”Yang saya lakukan ini bukan hasil ijtihad saya ini adalah ilmu yang Allah ajarkan kepadaku”. Jadi Khidir mengajarkan hikmah dibunuhnya seorang anak kecil karena Musa pernah berkhutbah dengan bahasa yang fasih, pada waktu itu orang – orang kemudian tersentuh khutbahnya setelah berkhutbah ada yang kemudian bertanya kepadanya:”Ya Musa adakah orang di dunia ini yang lebih alim darimu”, Musa mengatakan:”Tidak ada” Allah kemudian memberi pelajaran kepada Musa, ia kemudian diperintahkan oleh Allah untuk mencari seorang hamba yang bernama Khidir yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa ‘Alaihissalam dan termasuk ilmu yang diajarkan Musa adalah ketika khidir membunuh anak kecil. Khidir kemudian menjelaskan bahwa anak tersebut memiliki kedua orang tua yang beriman dan kami khawatir nanti ketika dia telah dewasa dia akan membuat kekufuran kepada kedua orang tuanya, maksudnya tidak membalas jasa kedua orang tuanya dan durhaka kepada kedua orang tuanya. Oleh karennya kami menginginkan Allah Subhanahu wata’ala menggantikan dari kedua orang tuanya seorang anak yang jauh lebih baik yang lebih sayang kepada kedua orang tuanya.
Berdasarkan kisah diatas dimana awalnya Nabi Musa tidak menyukai ketika seorang anak kecil yang tidak berdosa dibunuh tanpa sebab namun setelah Nabi Musa mengetahui hikmah dibunuhnya anak tersebut oleh Khidir barulah kemudian Nabi Musa mengerti sehingga awalnya nabi musa tidak menyukai namun ia kemudian menyukai anak itu dibunuh setelah ia mengetahui kelak dewasa anak tersebut akan membuat kedua orang tuanya kufur.
Syaikh Umar Al Muqbil Hafidzahullah mengatakan jika kita merenungi ayat ini sebagaimana yang terdapat dalam Surah Al Baqarah ayat ke 216 adalah ujian terberat keimanan seorang muslim ketika hendak berangkat jihad karena pada hakekatnya fitrah manusia tidak menginginkan kematian kecuali orang yang beriman dan jujur keimanannya kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Wallahu A’lam Bish Showaab.
Oleh : Ustadz Harman Tajang, Lc., M.H.I Hafidzahullahu Ta’ala (Direktur Markaz Imam Malik)
@Sabtu , 15 Rabiul Akhir 1438 H
Fanspage : Harman Tajang
Kunjungi :
Fans page: https://www.facebook.com/markaz.imam.malik.makassar/
Website : https://mim.or.id
Youtube : https://www.youtube.com/channel/UCIGoaFDkENVOY187i92iRqA
Telegram : https://telegram.me/infokommim
Instagram : https://www.instagram.com/markaz_imam_malik/
ID LINE : mim.or.id
PIN BBM : D23784F8