mim.or.id – Seperti diketahui, mengaggungkan syair-syair Allah merupakan bagian dari ketakwaan. Sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Hajj Ayat 32:
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
Artinya: Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.
Adapun kata para ulama mengatakan salah satu bentuk mengangungkan syiar-syiar Allah ialah mempersiapkan sesuatu/diri sebelum waktunya. Misalkan berpagi-pagi ke masjid, menunggu salat dan semua akan dihitung seorang itu terus melaksanakan salat.
Bahkan Nabi Muhammad mengurutkan kemuliaannya ibaratkan memotong seeokor unta, kedua sapi, ketiga kambing keempat ayam dan kelima ialah sebutir telur. Karena kita diperintahkan berlomba-lomba dalam kebaikan dan Allah mencela orang-orang munafik.
Baca Juga: Viral, Seseorang Mengaku Bersaudara dengan Buaya, Apa Hukum Mempercayainya?
Misalnya, ketika Rasululllah menyuruh ornag-oran g munafik ini untuk bersiap-siap dalam perang tabuk tetapi mereka itu tidak ada tanda-tanda untuk ikut berjihad. Sehingga ketika kita tidak memiliki persiapan untuk kebaikan maka kita wajib khawatir jangan sampai kita orang-orang munafik.
Untuk itu, kelak di akhirat nanti orang-orang yang beriman akan mengucapkan rasa syukur ketika mereka dimasukkan kedalam surga Allah. Sehingga mereka selalu berusaha mencari hidayah dan petunjuk-Nya.
Orang-orang yang beriman senantiasa menunggu musim-musim ketaatan yang didalamnya ditiupkan rahmat dan keberkahan serta yang paling penting ialah diampuni dosanya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
Artinya: Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Bahkan nabi Muhammad memberikan gambaran seperti apa gembiranya Allah jika hamba-Nya taubat, dengan perumpaan seorang laki-laki yang sedang berjalan diatas gurun dimana ia beristrahat dengan seluruh bawaan barangnya dan kendaran untanya.
Namun tiba-tiba ketika ia terbangun, seluruh barang bawaannya hilang, akhirnya dia kehauasan, kepanasan, sampai dia berpasrah diri. Tiba-tiba kendaraannya (unta) tersebut datang kembali dan betapa gembiranya seorang laki-laki tersebut.
Dari kisah ini, Rasulullah mengatakan bahwa Allah lebih gembira ketika seorang bertaubat kepada-Nya dari pada bahagianya laki-laki tersebut yang diselematkan dari kematian. Inilah yang senatiasa diharapkan, untuk kita selalu mensucikan diri kita dari segala dosa melalui taubat yang sebenarnya taubat.
Baca Juga: MABIT Menjelang Ramadhan, Kepala Kuttab Qur’an MIM: Pembekalan Tentang Fiqih Puasa
Dan bulan suci Ramadhan datang dengan paket kemuliaan dan ampunan itu. Bahkan dalam hadist Qudsi dikatakan bahwa:
رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ – أَوْ بَعُدَ – دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ
“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni” (HR. Ahmad).
Olehnya kesempatan ini kembali datang menjumpai kita, dan janganlah kita jadikan ini hanya sebagai seremoni semata setiap tahun. Jangan sampai ibadah kita hanya diibaratatkan kebiasaan belaka yang hanya untuk menggugurkan kewajiban.
Makanya dimulai dari niat dan tekad yang kuat dari sekarang, sebelum bulan suci Ramadhan. Oleh karenanya, para salaf itu sangat menekankan pada niat. Misalnya dengan meniatkan untuk berpuasa memperbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan suci Ramadhan maka itu semua dicatat sebagai pahala.
Sumber: Ustadz Harman Tajang, , Lc., M.H.I (Direktur Markaz Imam Malik)