mim.or.id – Ketika belajar usul fikih, salah satu fungsi sunnah ialah menafsirkan dan menjelaskan apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Jadi sirah itu adalah bentuk praktik dan aplikasi nyata dalam islam, dengan kata lain bagaimana kita melihat islam, ya lihat sirah.
Bagaimana mengamalkan islam yang baik ya lihat sirah. Siapa yang paling memahami islam adalah Rasulullah. Termasuk bagaimana nabi menyikapi perbedaan pandangan para sahabat itu bagian dari sirah.
Seperti kisah Nabi saat memerintahkan para sahabat untuk mendatangi bani yahudi yang mulai macam-macam. Kemudian Nabi berpesan kepada sahabat bahwa jangan seseorangpun diantara kalian mengerjakan solat sampai di bani Quraizhah.
Ketika rombongan berjalan kesana, ditengah perjalanan waktu sholat ashar sudah mau habis sehingga berbedalah pandangan sahabat. Ada yang mengatakan kita salat ashar karena waktunya sudah habis dan sahabat lain mengatakan kita salat ashar saat sampai disana karena perintah Nabi.
Akhirnya yang berpandangan salat ashar mereka mengerjakan dan yang mau dibani Quraizhah mereka salat disana. Ketika berita itu sampai ke Rasulullah beliau tidak menyalakan satupun dari kedua perbedaan.
Itulah cara Nabi memenagemen perbedaan. Perbedaan para sahabat merupakan Rahmat, sebagaimana Khalifah Umar mengatakan “Saya tidak bisa bayangkan betapa sulitnya islam ini seandainya para sahabat Nabi tidak berbeda pendapat”.
Hal demikian merupakan kelapangan islam, karena ketika sahabat sudah sepakat suatu masalah (ijma) siapapun yang menyelisih kesapakatan itu adalah kafir. Tapi sahabat tidak ijma semua masalah kecuali hal tertentu dan itu bisa dipahami jika seorang mempelajari sirah dengan baik.
Pentingnya, mempelajari sirah penting karena Allah Subhanahu wa ta’ala didalam Al-Qur’an memerintahkan kepada kita untuk menyusun, menulis dan mengumpulkan catatan tentang Nabi dan sunnah beliau.
Darimana dan apa dalilinya bahwa Allah memerintahkn untuk mencatat dan mengumpulkan sirah dan sunnah Nabi, diantara dalilnya dalam Q.S. Al-Azhab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah”
Kandungan ayat ini, pertama ayat ini memerintahkan kepada manusia menjadikan Nabi sebagai teladan. Apa langkah pertama yang harus dilakukan untuk menjadikan Nabi sebagai teladan, ya pasti belajar sirah.
Belajar siapa itu nabi Muhammad, bagaimana kehidupannya, bagaimana akhlak, perilaku, kata-kata yang diucapkan dan apa yang dilakukan sepanjang hidupnya. Misalnya, saya mengatakan coba contoh pak budi itu orangnya baik. Nah, bagaimana caranya mencontoh dia kalo kita tidak tau perilakunya dan apa nasehatnya.
Itulah sebabnya tadi, dikatakan ayat ini secara tidak langsung memerintahkan kepada kita untuk mengumpulkan sirah dan sunnahnya karena ayat ini menceritakan nabi sebagai teladan.
Tidak mungkin manusia jadikan beliau jadi teladan kalo tidak tahu tentang dirinya. Maka itu sebabnya ayat ini memerintahkan kepada kita mempelajari sirah nabi. Kira-Kira kita ini sudah berapa lama jadi muslim atau mungkin sejak lahir.
Sepanjang umur kita apakah sudah pernah satu kali mempelajari dengan serius tentang sirah nabi dari A-Z. Jadi sebelum meninggal upayakan kita membaca sirah nabi sekali seumur hidup.
Narasumber: Ustadz Dr. Ihsan Zainuddin, Lc., M.Si.